TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menyerukan kepada mereka yang telah sembuh dari Covid-19 untuk mendonasikan plasma darahnya untuk membantu pengobatan para pasien lain. Trump menyebut seruannya untuk terapi plasma konvalesen itu mendapat respons yang besar di negaranya.
Sementara itu, rumor telah terdengar kalau regulator obat AS (FDA) tengah berdebat apakah akan memberikan plasma darah konvalesen kepada lebih banyak orang dengan menetapkannya sebagai terapi darurat. Tapi para peneliti dan dokter di dunia khawatir kalau dorongan untuk distribusi plasma darah itu bisa mengesampingkan rangkaian uji klinis yang dibutuhkan untuk menentukan apakah plasma darah benar-benar bekerja melawan Covid-19.
Meski beberapa rumah sakit di Amerika Serikat, dan negara lain di dunia termasuk Indonesia, telah mulai menggunakannya kepada pasien Covid-19 tertentu, penetapan plasma darah sebagai terapi darurat dari FDA tentu akan membuat lebih mudah memperoleh dan memberikan terapi plasma konvalesen--cairan kuning yang tersisa setelah sel-sel diekstrak dari darah--ini.
Padahal, sejauh ini, mantan komisaris FDA Robert Califf mengungkapkan, hanya sedikit bukti kalau plasma darah benar-benar membantu pasien. Menurutnya, baru obat antivirus remdesivir dan obat antiperadangan dexamethasone yang telah teruji menghambat Covid-19 lewat uji klinis.
Sedang plasma konvalesen disebutnya baru diuji pada kelompok kecil uji klinis tanpa kekuatan statistik untuk menyediakan kesimpulan yang tegas. FDA pun belum menjelaskan landasan apa yang akan akan digunakan jika menetapkan plasma darah sebagai terapi darurat.
"Ini adalah terapi potensial yang bisa saja efektif, dan saya kira bukan tidak mungkin disediakan. Tapi uji klinis acak adalah proritas pertama," kata Califf yang kini memimpin strategi dan kebijakan klinis di Verily and Google Health di South San Francisco, California.
Model COVID-19 yang berpengaruh yang diproduksi oleh University of Washington merevisi proyeksinya pada hari Senin, memperkirakan lebih dari 134.000 COVID-19 kematian di Amerika Serikat hingga Agustus. KREDIT: CHINA CENTRAL TELEVISION
Selama lebih dari satu abad, para dokter telah memanfaatkan plasma konvalesen untuk mengobati pasien lain. Termasuk di antaranya dalam kasus Ebola dan MERS. Idenya adalah bahwa plasma berisi antibodi dan protein yang terlibat dalam regulasi respons imun tubuh. Dan beberapa antibodi itu mungkin telah membantu pemulihan si pendonor dari infeksi penyakit yang dideritanya--sehingga membagikannya kepada pasien lain diharapkan memicu pemulihannya pula.
Baca juga:
Trump Bolak Balik Sebut Jet Siluman F-35 Tak Terlihat Mata, Padahal Tidak
Terapi ini dianggap logis diterapkan dalam menghadapi infeksi Covid-19. "Tapi peneliti harus bisa mendapatkan tingkat efektivitasnya di tengah pandemi ini," kata Michael Joyner, pakar anestesiolog di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota.